لو انزلنا هذالقران
على جبل لرايته خاشعا متصدعا من خشية الله وتلك الامثال نضربها للناس لعلهم
يتفكرون
Artinya: “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada
sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan
takut kepada Alloh. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia
supaya mereka berfikir”. QS. Al Hasyr:
21 (DEPAG. 1992.h. 919)
v Kosa Kata
لَوْ
اَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرَأَنَ (Seandainya Kami turunkan Al-Qur’an (ini) yakni Kalam Kami yang
mulia yang mengandung nilai-nilai yang agung yang tak terbatas عَلَي جَبَلٍ (kepada seluruh
gunung) sebagaimana Kami menurunkannya kepadamu لَرَأَيْتَهُ
(pasti
kamu akan melihatnya (yakni
melihat gunung itu خَاشِعًا (tunduk) dengan
penuh rendah diri dan rasa hina مُتَصَدِّعًا (terpecah
belah)yakni menjadi belah: menurut qiroat lain dibaca mussaddi’an dengan di idghomkan مِّنْ
خَشْيَةِ اللَّهِ
(disebabkan takut kepada Allah) lalumengapa kamu tidak takut pada saat
al-Qur’an dibacakan dan hatimu tidak lembut saat mendengarkannya,dan tidak
merenungi makna-maknanya نَضْرِبُهاَ
(perumpamaan-prumpamaan
itu)yang telah kami buat (kami
buat)untuk memberikan keterangan melalui tamsil لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ(untuk
manusia supaya mereka berpikir) lalu mendapatkan pelajaran dan mengamalkannya.[1][3]
Surat Al Hasyr merupakan Surat yang ke 59. Surat ini
menerangkan tentang bagimana seharusnya sikap setiap orang Islam terhadap orang
orang yang tidak Islam yang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan umat
Islam sebagai yang dilakukan oleh Bani Nadhir, hukum fai dan pembagiannya,
kewajiban bertakwa; ketinggian dan keagungan Al Qur’an kemudian ditutup dengan
sebahagian Al Asma’ul Husna. (Depag RI, h. 920). Pembahasan akan difokuskan
pada ayat yang ke 20 dan ke 21 dari Al Qur’an Surat Al-Hasyr.
Alloh menyebutkan kehebatan Al Qur’an dan pengaruhnya pada gunung-gunung
yang tinggi yang tuli. Alloh berfirman : “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al
Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah
belah diseabkan takut kepada Alloh” seandainya Kami ciptakan akal pikiran pada
gunung sebagaimana Kami ciptakan akal untuk manusia dan kami turunkan kepadanya
Al Qru’an ini dengan janji dan ancamannya, tentu gunung yang tenang akan tunduk
dan pecah karena takut kepada alloh. Ini menggambarkan keagungan Al Qur’an dan
kuatnya pengaruhynya. Seandainya gunung yang demikian kuat dan keras, kemudian
Al Qur’an diturunkan kepaanya tentu kamu melihatnya tunduk dan retak karena
takut kepada Alloh. Tujuan ayat ini ingin mengkritik manusia karena ia tidak menjadi
tunduk ketika membaca Al Qur’an. Bahkan ia berpaling dari isi Al Qur’an yang
berupa hal-hal yang ajaib dan agung. Dengan demikian, maka ayat ini menjelaskan
keagungan Al Qur’an dan kehinaan manusia. Dalam Al Bahr al Muhith disebutkan
tujuan ayat ini ingin mengkritik manusia atas hatinya yang keras dan tidak
terpengaruh oleh al Qur’an ini. Padahal seandainya diturunkan kepada gunung
maka tunduk dan meletus. Jika gunung yang demikian besar dan keras saja berubah
menjadi tunduk dan retak, maka manusia lebih layak terhadap hal itu. Namun
karena hina dan lemah manusia tidak demikian. “Dan perumpamaan-perumpaamaan itu
Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”. Permisalan itu Kami rinci dan
jelaskan kepada umat manusia agar mereka merenungi bukti-bukti kekuasaan Alloh
dan keesaan Nya lalu mereka mau beriman.
v Pengertian Tafakur
Tafakur secara bahasa bermula dari ( تَفَكَّرَ
يَتَفَكَّرُ تَفَكُّرًا )
mempunyai arti perihal berpikir (Junus, 1973:
322), searti dengan kata meditasi, renungan, diam
memikirkan sesuatu dalam-dalam
(Purwodarminto, 1976, 680). Dalam Islam tafakur didasarkan
atas ayat-ayat al-Qur'an yang ditujukan
kepada mereka yang diberi
pengetahuan dan dituntut untuk merenungkan tanda-tanda (fenomena-fenomena) alam.
Fakhruddin ar Rozi Menjelaskan istilah dan maksud
tafakur sebagai berikut:
“Hati yang berzikir kepada
Allah artinya adalah bahwa seseorang merenungkan tentang rahasia dari berbagai
benda yang diciptakan oleh Allah SWT hingga benda-benda terkecil (atom)
sehingga menyerupai sebuah cermin yang diletakkan di depan alam ghoib, dan
ketika hamba Allah itu melihat semua ciptaan dengan mata hatinya, maka cahaya
penglihatannya mampu menembus hakikat alam” (Waley, 2003: 76).
Pada hakikatnya tafakur merupakan suatu kesadaran untuk mendapatkan bukti
adanya Allah, dan kekuasaan-Nya yang bermuara pada keyakinan, selanjutnya
dengan tafakur manusia dapat menempatkan diri di alam dengan mengetahui kondisi
baik dan buruk hanya dengan kekuatan akal dan iman yang membantu menerima
kebaikan yang melahirkan ketenangan. Iman dan akal pula yang menolak keburukan dan sesuatu yang dibenci, hal inilah yang menjadi
inti dari ajaran Islam.
Sumber :
Ø
Hendrawan, Sanerya. “Spiritual
Management”. Artikel di akses pada 1 April 2013 dari http://www.books.google.com/tafakur.20.35 Jakarta:2011.
Ø Muhammad Al-Imam
‘Usman ‘Abdullah Al-Mirgani, Mahkota
Tafsir(jilid 3) Ar-Rum s.d An-Nas, Bandung: Sinar Baru Algensindo,2009.
[1][3] Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah Al-Mirgani, Mahkota Tafsir(jilid
3) Ar-Rum s.d An-Nas, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2009)hal.909
No comments:
Post a Comment